It's Okay Not To Be Okay!

Hai, ada yang tahu hari apakah ini? Hari minggu? Betul sih, tapi masih belum tepat. Hari ini adalah hari kesehatan mental dunia. Sudah lama sekali saya memang ingin mengangkat isu ini di blog saya. So, this is the perfect time.

Apalagi, beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menghadiri acara Temu Blogger Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021 yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan via zoom pada 6 Oktober lalu. Banyak sekali insights yang saya dapatkan loh dari 5 pembicara hebat yaitu;

  1. dr Celestinus Eigya Munthe, Sp.KJ, MARS selaku Direktur P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza
  2. Dr. Satti Raja Sitanggang, Sp.KJ, perwakilan PDSKJI
  3. Dr. Indria Laksi Gamayanti, M.Si., Psikolog selaku Ketua Umum PP Ikatan Psikolog Klinis Indonesia
  4. Bagus Utomo selaku Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia
  5. Romanus Ndau selaku Komisi Informasi Publik RI

Jujur, gemas rasanya isu kesehatan mental di Indonesia masih dianggap tabu, bahkan dinilai aib. Kita seringkali menggunakan kata "orang gila" untuk mereka-mereka yang berkutat dengan masalah kesehatan mental. Kali ini, saya akan membahas mengenai kekerasan verbal yang ternyata dampaknya tuh gak main-main loh.

Sadar or gak sadar, kita mungkin pernah melakukan atau bahkan menjadi korban kekerasan verbal. Sering sekali rasanya saat bertemu dengan teman atau keluarga, entah basa-basi entah apa, terucaplah pertanyaan yang umum namun ternyata kalo kata anak-anak jam now, efek damagenya tuh bikin kena mental. 

hari kesehatan mental sedunia
Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia

"Eh, kamu kok gendutan ya?", sadar gak sih tanpa perlu kita lontarkan pertanyaan yang lebih mirip seperti pernyataan itu, orang yang jadi lawan bicara kita tuh sudah sadar kok sama tubuhnya. Yang tadinya dia pede-pede aja, tiba-tiba mulai merasa insecure karena basa-basi busuk itu loh! And yes, itu body shaming sih!

Apa sih itu kekerasan verbal?

Mengutip dari laman Liputan6, menurut Cantyo A. Dannisworo, Psikolog Klinis, kekerasan verbal biasanya merujuk pada pengucapan kata-kata yang menyakiti, menyinggung, bahkan merendahkan. Kekerasan verbal tuh bentuk penyiksaan loh pada seseorang melalui kata-kata. Tujuannya satu, yaitu merusak mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai mempertanyakan intelejensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri. Jahat banget kan?!

Saya pernah mengalami kekerasan verbal selama bertahun-tahun dari pasangan saya, yang diikuti dengan kekerasan ekonomi. Dampaknya? Seperti paparan di atas, saya mempertanyakan kualitas diri sendiri, merasa gak berguna, merasa nothing! Jangan ditanya, butuh waktu panjang untuk berjuang melawan insecurities yang dipupuk menahun.

Dan faktanya, kekerasan verbal ini gak melulu dilakukan dengan teriakan loh. Kata-kata yang diucapkan dengan nada halus bahkan berbisik dan dilakukan rutin selama periode waktu tertentu juga termasuk kekerasan verbal. Sekali lagi, tujuannya adalah pembunuhan karakter! 

Jenis-jenis kekerasan verbal

  1. Labelling/name-calling. Biasanya pelaku akan memanggil nama korbannya dengan panggilan yang sifatnya hinaan. Seperti "bodoh", atau memakai nama hewan seperti "babi/anjing".
  2. Degradasi. Kata-kata ini dikeluarkan untuk membuat orang merasa bersalah atau merasa dirinya rendah dan gak berguna. Misalnya, "kamu gak bisa apa-apa kalo bukan karena saya!".
  3. Manipulasi. Ini kekerasan verbal yang jenius, jadi bertujuan memerintah tanpa membuat orang tersebut merasa diperintah. Misalnya, "kalo kamu sayang sama aku, kamu pasti lebih mentingin aku."
  4. Menyalahkan. Biasanya kesalahan akan digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan si pelaku kekerasan verbal. Misalnya, "karena kamu punya salah sama saya, makanya saya berhak marah."
  5. Merendahkan. Kata-kata yang dikeluarkan oleh pelaku kekerasan verbal ditujukan untuk menjatuhkan mental kita dan membuatnya lebih superior.
  6. Kritik berkelanjutan. Untuk pendewasaan diri, kita memang harus belajar menerima kritikan. Tetapi, ketika kritikan dilakukan terus menerus, hal itu bisa membuat kita merasa tidak ada harga dirinya.
  7. Menuduh. Tidak perlu kata-kata kasar, tapi dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan cukup bisa menjatuhkan mental loh.
  8. Menolak berbicara. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi pertengkaran, dan si pelaku kekerasan verbal mendiamkan kita tanpa sepatah kata pun.
  9. Perdebatan tak berujung. Seharusnya perdebatan ditujukan untuk mencari titik temu, namun jika hanya menjadi debat kusir maka hal itu termasuk kekerasan verbal loh ternyata.
  10. Ancaman. Hal ini biasanya menjadi awal kekerasan fisik, karena pelaku berusaha menakut-nakuti korbannya.
 
stigma negatif kesehatan mental

Salah satu stigma negatif kesehatan mental di Indonesia

Tanda-tanda mengalami kekerasan verbal

Jika kita merasa selalu kalah, merasa lebih rendah dibanding pasangan/lawan bicara, sering merasa tertekan saat berdiskusi, bahkan menjadi bahan lelucon. Itu pertanda kita mengalami kekerasan verbal. Terlebih lagi, jika merasa gak nyaman berada di dekat pasangan/lawan bicara tersebut. Selalu dihantui rasa takut dan keparnoan hakiki bahwa kekerasan verbal tersebut akan mengarah ke kekerasan fisik.

Bahaya Kekerasan Verbal Terhadap Kesehatan Mental

Kekerasan verbal ini dampaknya gak main-main bagi kesehatan mental. Mereka yang mengalami kekerasan verbal seringkali menjadi pribadi yang antisosial. Bahkan cenderung mencari 'pelarian' untuk mengurangi rasa sakitnya seperti minum alkohol dan menggunakan obat-obatan terlarang. 

Korban kekerasan verbal somehow seringkali terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Karena merasa insecure dan merasa dirinya tidak pantas dan tidak berguna. Dampak yang lebih parah dari kekerasan verbal adalah berupa depresi bahkan bisa menyebabkan post traumatic stress disorder (PTSD) yang akan menghancurkan hidupnya.

Kita berkali-kali dikagetkan oleh kasus bunuh diri yang dilakukan para selebritas dunia. Ini bukti nyata bahwa masalah kesehatan mental ini penting! Gak bisa dianggap sepele, bukan juga karena kurang iman! Please, hentikan stigma-stigma itu yuk.

Saya sendiri, mungkin pernah melakukan kekerasan verbal juga baik secara sadar maupun tidak sadar. Hanya sesal sih yang selalu muncul belakangan bak pahlawan kesiangan. Karena saya sendiri merasakan seperti apa sakitnya menjadi korban kekerasan verbal.

Jika merasa sudah tidak sanggung menghadapinya sendirian, kita harus berani untuk mencari bantuan. Konsultasilah dengan psikolog jika memang diperlukan. Dan belajar 'mengosongkan gelas' saat menjalani sesi terapi dengan psikolog atau psikiater. You're not alone!

world mental health 2021
Tribute for World Mental Health 2021

54 komentar

  1. hai, thanks for stopping by di blog saya, silakan mampir dan berkomentar, tapi please jangan share link hidup ya

    BalasHapus
  2. Aaa Mbak Synta... peluk virtual..

    Ya benar banget, kita tuh masih beranggapan kalau ke psikolog atau ke psikiater, kita berarti gila. Padahal, kita tidak harus menjadi gila untuk berkunjung ke psikolog. Karena, semua orang mungkin butuh pendampingan.

    Akhirnya orang berpikir baik2 sj dg mental mereka, karena berpikir gw nggak gila. Padahal sbnrnya dia tidak baij2 sj dengan mentalnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mba di Indonesia seperti inilah kenyataannya, bahkan di dunia sih, makanya banyak yang memilih untuk diam dan amit-amit akhirnya terbunuh sama pikiran dan perasaannya sendiri. Cukuplah kita berkaca sama banyak selebritas dunia yang memilih mengakhiri hidupnya krn berjuang sendirian...

      Hapus
  3. Mba, artikel ini akan sya simpan utk sya pahami berulang kali. Saya kadang gemez kalau ada org yg bilang "kan kita cuma becanda" nyatanya ungkapan mereka menyakitkan hati saya banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. my pleasure mba kalo tulisan saya mengena dan berguna, duh jangan mau deh kita mentolerir lagi yang kaya gitu mba

      Hapus
  4. Duh, sering banget denger ada yang melakukan kekerasan verbal di lingkungan saya bekerja misalnya: "kamu gendut amat sih", "rambutnya banyak uban", "jerawatnya kok banyak amat sampe berminyak gitu", dll. Hehe, sambil bercanda sih, cuma gak tahu yang di bully itu gimana rasanya? Kadang ini pastinya secara langsung bisa merusak mental dan psikologi lawan bicaranya. Semoga kita dijauhkan dari sikap semacam ini.

    BalasHapus
  5. kirain tulisan review drama Korea, ternyata ....

    hihihi...

    bagus banget tulisannya, dan harus sering-sering campaign seperti ini

    karena sering banget terlontar ucapan2 yang sebetulnya merupakan kekerasan verbal

    dengan adanya tulisan seperti ini, paling gak kita belajar mengendalikan diri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheh iya Ambu saya juga kira review bahas drama Korea ternyata bahasannya lebih menarik nih karena mengangkat isu kesehatan mental.

      Masalah seperti ini memang penting disuarakan karena masih banyak juga yang tanpa sadar sering melakukan kekerasan verbal

      Hapus
  6. Kesehatan mental, istilah yang sudah mulai dikenal juga beririsan dalam pekerjaan sosial bahkan ada mata kuliah tersebut di salah satu universitas di Indonesia. Kebiasaan di masyarakat yang belum baik karena faktor pendidikan, lingkungan maka sosialisasi seperti tulisan kesehatan mental perlu setidaknya dimulai dari keluarga dan praktik pada orang terdekat. Mantap

    BalasHapus
  7. Mbaaak ... I feel you. Saya pernah berada di posisi yang sama. Bahkan, saat jatuh sakit dokter sepertinya tahu saya dalam kondisi tertekan. Ditawari untuk bertemu psikolog juga. Ah, memang sepertinya sepele. Tapi kekerasan verbal betul-betul menjatuhkan harga diri dan mental kita. Kita malah seolah-olah 'dipaksa' menyadari bahwa kita itu salah.

    Semoga ke depan semakin banyak lagi orang yang peduli terhadap kesehatan mental ini.

    BalasHapus
  8. Hihihi, iya mbak, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mental yang bermasalah efeknya kan ke kehidupan nyata juga. Jadi males, enggak punya semangat hidup, insecure. Enggak sehat ya

    BalasHapus
  9. Ternyata ada banyak juga ya jenis dari kekerasan verbal ini. Dari baca ulasan di atas saya jadi sadar kalau dulu saya sering banget mengalami kekerasan verbal tapi untungnya efeknya nggak bikin sampai saya mengalami masalah mental yang seriu tapi hal seperti ini memang patut banget nih jadi perhatian kita semua.

    BalasHapus
  10. Bahaya kekerasan verbal ini seringnya lebih membunuh dari kekerasan fisik. Mengerikan memang. Semoga setiap orang terhindar dari kekerasan verbal dan tidak menjadi orang yang gemar melakukan kekerasan verbal.

    Saya baru tahu BPJS juga mengcover biaya perawatan kesehatan mental. Semoga besar manfaatnya bagi yang membutuhkan.

    BalasHapus
  11. Saya ngilu setiap kali membaca tulisan tentang mental health. Apalagi permasalahannya itu terbawa dan merasuk hingga kedalam jiwa dan mengakibatkan kerusakan-kerusakan baik terlihat maupun tidak terlihat.

    Melihat sekilas video beberapa orang ternama yang mengalami hal ini. Terutama akan apa yang dialami oleh entertainer ternama, Robin William. Kita yang melihat beliau selalu menghibur dan tertawa di hadapan publik, ternyata menyimpan permasalahan jiwa yang akut. Satu pelajaran penting untuk mental health yang wajib lebih kita perhatikan dan pahami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba Annie, sedihnya kaya selebritis yang kita sangka hidupnya bahagia nyatanya menyimpan luka batin yang ga seharusnya disepelekan, kebayang kan apalagi orang biasa kaya kita gini...

      Hapus
  12. Bullyan terkejam bagi perempuan sering kali datang dari perempuan juga. Menyalahkan itu termasuk victim blamming juga ya. Bersyukurlah yang mentalnya kuat, tapi jangan dipukul rata semua orang sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. this is sadly truee yaa mba muthe, heran kok sesama perempuan malah mulutnya lebih menusuk dan menjatuhkan yaa

      Hapus
  13. Kesehatan mental belakangan ini semakin diperhatikan oleh masyarakat luas. Ga seperti dulu yang rasanya tabu soal jiwa yang bisa jadi kurang sehat, karena malu dan belum dapat dukungan dari keluarga maupun teman2 dekat. Labelling itu yang salah orang tuanya. Maksud hati karena gemas, lucu ternyata malah bikin sakit hati hhmmm....

    BalasHapus
  14. Ternyata banyak juga ya jenis-jenis kekerasan verbal ya, padahal selama Itu kita anggap biasa saja. Jadi semakin hati-hati nih kalau ngomong deh jangan sampai omongan kita menjatuhkan mental orang lain

    BalasHapus
  15. Kekerasan verbal ini apalagi yang Labeling, pasti deh sering kita denger. Apalagi daku pernah denger orangtua yang melabeli anaknya "nakal sih kamu!"
    miris ya.

    BalasHapus
  16. Sulit sih masalah kekerasan verbal ini. Kadang berkedok candaan, rasa cinta, dll ya

    BalasHapus
  17. Cocok banget deh ulasan mbak dibahas di setiap kelas sekolah dari SD sampai kuliah, biar gak jadi kebiasaan kalo bicara jangan asal jeplak dan seenaknya, miris banget masih banyak orang yang gak ngerti cara bicara yang baik, bikin illfeel bahkan depresi

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks mba, memang tujuan saya nulis ini biar lebih banyak orang yang aware, bahwa hal-hal simple yang kita ucapkan ternyata tuh bisa saja menyakiti hati orang, or worse malah bikin orang insecure ya

      Hapus
  18. aku termasuk ckup sering mengalami body shaming, mungkin maksud temen adalah bercanda. tapi sekarang sudah ada UU, kalau misalkan ketemu orang yang nggak terima, bisa aja yang asal ngomong tadi ditindak hukum

    BalasHapus
  19. kadang orang berlindung di balik kata bercanda, padahal baru bisa dibilang bercanda kalau kedua belah pihak sama-sama menganggap itu lucu, kalau salah satunya merasa di rugikan itu bukan bercanda tapi bully ya kak :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. this is so true, bercandaan itu harusnya sifatnya resiprokal alias timbal balik, kalo cuma sepihak ya jatuhnya bully sih yaa or shaming

      Hapus
  20. Kalau saya sering dibully sama teman saya yg bertubuh gemuk bilang gini "kamu kurusan ya jarang makan ya" ..dan ketika saya balikin "eh kamu ngomong kurusan itu body shaming lho saya ga suka karena kesannya saya kurus kurang makan" ehhh teman saya yang bertubuh gemuk marah..katanya gini..yeaye orang gemuk mau kurus situ yang kurus malah tersinggung dibilang kurus?? Aneh ya jadi kesannya body shaming hanya berlaku buat orang gemuk tapi tidak buat orang kurus dan pake kata jarang makan.. hehehe jadi curcol nih .. tapi dari contoh tsb ,..terkadang setiap orang tanpa sadar sering melakukan sesuatu yang membuat jiwa orang lain terluka..dan orang tsb teteup ga merasa sudah membuat jiwa orang lain luka karena yang dia pikirkan hanya perasaannya sendiri..

    BalasHapus
    Balasan
    1. konon biasanya sih mba yang suka melakukan itu biasanya dia juga seringkali kena shaming. sampai kapan coba lingkaran setan berputar terus ya kan?

      Hapus
  21. Pernah di posisi korbannya.. Tapi pada akhirnya aku memilih kluar dan memutuskan hubungan. Sudah begitupun, kadang masih berasa sakit hatinya, atau rasa insecure kalo inget kata2 yg pernah diucapin. Memang separah itu damage nya.. :( yg aku takutin sekarang, jangan sampe ada kata2 tidak sengaja atau kelepasan yang membuat anakku bisa down juga. Krn jujur aja aku juga bukan tipe yg sabaran .. :(

    Tx for sharing mba. Reminder buatku untuk sangat hati2 kalo bicara. Setelah tau rasanya jadi korban, pasti ga pengen membuat orang lain seperti itu juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mba, kita sama-sama pernah merasakan gimana usaha kita untuk bangkit dari insecure dan sakit hati yang bikin gak sehat secara mentally yaa

      Hapus
  22. Tak mudah dalam posisi itu pastinya mba Shinta. Kalimat yang merusak psikis dan berdampak pastinya :( Peluk peluk. Semoga dengan adanya tulisan dan sosialisasi seperti ini, makin banyak yang ngeh pentingnya menjaga kesehatan mental

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes mba, gak enak yang jelas sih rasanya... dan sesekali kadang masih suka keinget dan tetiba emosi bergejolak, sedamage itu memang sih. Ada perumpamaan yang tepat buat gambarin luka hati kaya gitu, kayu yang berkali-kali dipaku, sekalipun pakunya dicabut, kayunya tetap bolong. nyesss....

      Hapus
  23. Betul mbak memang kadang ada beberapa orang yang suka asal melempar kalimat pedas ke lawan bicara, padahal secara tidak sengaja itu akan menyakili lawan bicara. Seperti kalimat ih gendut banget kamu, ih kok wajahmu penuh jerawat sih....ih kok belum punya anak sih padahal sudah bertahun-tahun menikah.... karena tidak semua orang bisa menerima dengan lapang dada kalimat2 seperti ini. Termasuk saat orang tua memaksakan kehendaknya kepada anak yang berujung si anak nekat melakukan perbuatan seperti bunuh diri dsb....jadi introspeksi pada diri sendiri supaya hati2 setiap melemparkan kalimat kepada lawan bicara. Takut mengakibatkan kekerasan verbal bagi lawan bicara.

    BalasHapus
  24. Mba Shyynnn, you are STRONG banget mbaaa *virtual hugs*
    pastinya ga mudah kalo kita punya pasangan/orang dekat yg kasar secara mental.

    padahal, mental health really matters, makasii udah nulis ini ya mba.

    BalasHapus
  25. Iya kadang orang bingung mau ngomong apa akhirnya ngomenin yang kelihatan.padahal kata Rasulullah juga lebih baik diam daripada berbicara yg ga ada manfaatnya ya. Tapi tetep aja pengen ngomong segitu ga ada ide heu akhirnya jadi body shaming atau kekerasa visual lainnya... :(

    BalasHapus
  26. Terima kasih sufah menuliskanhal ini..kadang2 jenis2 kekerasan verbal.ini tidak kita sadari..tapi tahu2 berdampak besar dalam hidup kita. Turut berharap semoga isu kesehatan mental menjadi isu penting yg mendapat banyak perhatian juga ke depannya..

    BalasHapus
  27. Aduh yang nomor satu nih labelling masih sering banget kita dengar bahkan sesekali juga berbuat. Ternyata itu termasuk kekerasan verbal ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya mba..saya juga sering sekali menemui labeling ini di sekitar saya.. ternyata masih banyak yg blm sadar bhw itu termasuk kekerasan verbal ya..

      Hapus
  28. woww... ternyata verbal kasar dan kotor yang sering didengar sepertinya biasa2 aja, tapi ternyata termasuk dlm kategori kekerasan verbal. Yang melakukan kekerasan verbal maupun yang terkena kekerasan verbal mungkin tidak menyadari, dan tanpa disadari juga akan membekas di hati pada orang yang terkena kekerasan verbal tsb. Makasih buat insight nya mba

    BalasHapus
  29. Ah jd keinget kmrn timelin twitterku bahas soal ke piskolog. Kyknya makin banyak yg gak ragu mengunjungi psikolog. APalagi zaman pandemi gini kyknhya banyak yg buka konsul onlne, jd mulai banyak yg terbuka jg.
    Soalnya emang kesehatan mental pun perlu dirawat jgn dibiarkan sakit kudu cepet2 nyari bantuan ya mbak.

    BalasHapus
  30. kasian banget ya kalau udah pernah mengalami kekerasan verbal tuh rasanya lebih sakit dibandingkan dengan pukulan hukuman ortu kita dulu. Kalau kata-kata itu lebih nyelekit dan bikin sakit hati. Dan dari tulisan mba jadi ngingetin lagi istilah PTSD, dan ngilanginnya itu gak mudah. Maka penting menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik dan menyakiti hati orang lain.

    BalasHapus
  31. memang kekerasan verbal bisa membawa dampak yang memang berbahaya dan akan sulit untuk memeprbaiki dampak negatifnya

    BalasHapus
  32. Bahayanya kekerasan verbal sering hanya dianggap candaan. Halakh cuma becanda aja, dan korban kekerasan verbal malah dianggap baper. Huhuhu semoga edukasi tentang kesehatam mental makin diagaungkan.

    BalasHapus
  33. Memang perlu menjaga kesetaraan kesehatan jiwa, krn sejatinya manusia perlu saling memanusiakan manusia. Semoga sja kedepannya pemerintah lebih meningkatkan layanan utk hal ini.

    BalasHapus
  34. Duh jadi sedih lihat Robin William, aktor favorit sejak saya masih kecil. film yang gak pernah absen saya tonton adalah film "Nano-nano" asli lucu banget dan menghibur. Oiya, baru tahu saya ada hari kesehatan mental. semoga dengan peringatan hari kesehatan mental orang akan saling sadar akan bahaya perundungan atau apapun yang mneyebabkan orang sakit mental.

    BalasHapus
  35. Duh kekerasan verbal. Ini yang masih sering dianggap sepele. Karena efeknya gak kelihatan. Padahal mah, ini tuh luka dalam meski tak berdarah ya. Ini tuh bikin jiwa terpukul, yang akibatnya malah bisa ke mana2. Masih sering nih ini terjadi di sekitarku. Dari istri oleh suaminya, suami oleh istrinya, temen oleh temennya, sampe anak oleh orang tuanya. Huhu masih pada belom aware nih orang-orang dengan ini. Bahkan orang berpendidikan tinggi pun, kayak dosen gitu, sering kali melakukan ini ke mahasiswanya. Semoga dengan banyak sosialisasi jadi reminder buat kita semua untuk bisa peduli dan menahan diri untuk ikut melakukan kekerasan verbal. Aamiin.

    BalasHapus
  36. Setuju sih kalau kekerasan verbal ini juga bisa mengganggu kesehatan mental seseorang. Tapi sayangnya banyak yg nggak aware soal ini, padahal banyak diantara kita yg diam menyimpan luka Karena omongan yang dikontrol :'( terima kasih atas sharingnya Mbak

    BalasHapus
  37. Abis baca artikel ini, saya merasa kena tampol mbak... Baru aja kemarin saya melakukan kekerasan verbal dengan bertanya ke kakak sepupu saya, "Lho mas koq jadi kurusan?". Engga sama sekali berniat jahat gitu, dan beneran curious mau tanya karena uda lama ndak ketemu. Saat baca artikel ini, saya langsung merasa ngga sopan. Bentar lagi mau minta maaf sama kakak sepupu.
    Makasiii banget informasinya mbak Shinta ^^.

    BalasHapus
  38. Aku punya rekan kerja, yang kalau ngomong mirip Fizi nya Upin-Ipin. Ceplas-ceplos tapi nyeleketin ati. Aku sering banget kena kekerasan verbal sama dia. Jadi lebih milih jaga jarak. Bukannya marah sih, tapi kalau dibiarin lama-lama kan ngelunjak, jadi mending jaga jarak aja. Semoga aku juga bisa menghindari kekerasan verbal terhadap orang lain.

    BalasHapus
  39. Aku jadi ingat pas hari kesehatan mental ini bberpa hari sebelumnya ayahku ninggal. Beliau ini adalah sosok yg keras ucapannya. Ketika kutanya ibuku, apa yg dirasakan stlh ayah tiada, ibu bilang 'sekarang usah nggak ada yg marah marah lagi ya. Rumah jadi sepi'.

    Mungkin itu saking melekatnya ucapan ayah sehari hari. Tapi tentu saja itu berefek pada mental ya. Alhamdulillah bgt brti ibuku masih kuar dan sehat secara mental juga. Memang harusnya hati2 ya dalam berkata atau menanggapi suatu hal gitu

    BalasHapus
  40. Aku merasa sekali kalau di keluarga kami tuh, semuanya begitu mudahnya mengeluarkan pendapat. Hingga terkadang menjadi sebuah kekerasan verbal yang tidak sengaja ((mungkin maksudnya bercanda ala kartoloan)).

    Tapi aku beruntung sekali, suamiku orangnya penuh dengan pengendalian diri.
    Sehingga aku pun kini mulai belajar sedikit demi sedikit untuk gak judgement. Karena apapun yang keluar dari mulut ibu, maka akan menjadi doa bagi anak-anak mereka.

    BalasHapus
  41. Bertahun-tahun saya mengalaminya. Dari lingkungan keluarga yang ... ya bisa dikatakan toxic. Hingga pada masuk dunia kerja, saya mindernya minta ampun. Memupuk kepercayaan diri yang sudah runtuh, benar-benar sulit. Bergaul dengan teman minder, apalagi kalau dipanggil menghadap atasan, rasanya gak karuan.

    Kenangan lama memang susah dilupkan, dari orang-orang yang ketika berbicara asal nyeplos tak pernah dipikirkan apa yg akan terjadi dengan lawan bicaranya.

    Kadang suka sedih sendiri, mengingat semua kata-kata pedas itu.

    BalasHapus
  42. Kekerasan verbal macamnya banyak juga yaa... aku baru tau makasi kak infonya :)

    BalasHapus
  43. memang kadang orang tidak bisa membedakan antara becanda dan kekerasan verbal ya. padahal kalau candaan sudah menyinggung orang itu artinya sudah termasuk kekerasan verbal. Semoga saja sih kita bisa terhindar dari pasangan atau teman yang seperiti itu

    BalasHapus